KOMPAS.com – Prijono adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1957-1966.
Selain itu, ia juga merupakan salah satu tokoh penting dalam Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), yang merupakan partai berhaluan kiri.
Akibatnya, Prijono pun digadang-gadang sebagai tokoh politik yang berhaluan komunis.
Terlebih lagi, saat Prijono disebut-sebut ikut mendukung pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang diserukan oleh pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit.
Sejak saat itu, Prijono menjadi target utama gerakan mahasiswa Islam, yang berujung penculikan.
Prijono diculik pada 16 Maret 1966, dan meninggal dunia pada 6 Maret 1969.
Masa muda
Prijono lahir tanggal 20 Juli 1905 di Yogyakarta. Ia adalah putra dari seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta, R. Winduwinoto.
Sebagaimana lazimnya keluarga dari kalangan keraton, sejak kecil Prijono sudah diajarkan bagaimana cara mencintai serta menghormati adat-istiadat yang ada di Yogyakarta.
Prijono kerap diikutkan ke dalam perkumpulan-perkumpulan kesenian oleh sang ayah.
Saat muda, Prijono sempat menjadi murid di sekolah tari Krido Bekso Wiromo (KBW), salah satu sekolah tari Jawa gaya Yogyakarta yang diasuh oleh GPH Tedjokusumo.
Kemudian, Prijono menamatkan pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Yogyakarta.
Setelah itu dilanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Surakarta, dan lulus tahun 1929.
Usai lulus, Prijono memilih untuk melanjutkan sekolahnya di Paris dan berhasil meraih ijazah Sastra Perancis di tahun 1932.
Selama empat tahun selanjutnya, Prijono menempuh pendidikan di Universitas Leiden, Belanda, mengambil jurusan Sastra Timur.
Prijono pun berhasil lulus dengan menyandang gelar profesor setelah sebelumnya mendapat gelar doktor dalam bidang sastra dan linguistik.
Selain kuliah, Prijono juga aktif memperkenalkan kebudayaan Indonesia di Belanda.
Ia mendirikan Studentenvereeniging ter Bevordering van Indonesische Kunst (SVIK) atau Persatuan Pelajar/Mahasiswa untuk Memajukan Seni Indonesia di Belanda pada Maret 1938.
Kiprah
Setelah selesai menempuh pendidikan di Belanda, Prijono memutuskan kembali ke Indonesia.
Ia mengawali kariernya sebagai seorang guru di berbagai macam sekolah dan sempat diangkat sebagai rektor di Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta pada 1942.
Pada masa kemerdekaan, berdasarkan Surat Keputusan dari Kepala Departemen PP dan K, Prijono diangkat sebagai kepala sekolah-sekolah menengah oleh Sri Sultan Yogyakarta tahun 1946.
Kemudian, pada masa revolusi, Prijono bersama dengan rekan-rekannya, yaitu Mr. Budhyarto, Ir. Marsito, dan Mr. Sunario, ikut mendirikan perguruan tinggi Republik Indonesia pertama yang bernama Universitas Gadjah Mada.
Selanjutnya, tahun 1950, Prijono diangkat sebagai guru besar dalam bahasa Indonesia di Fakultas Kesusasteraan dan Filsafat Balai Perguruan Tinggi RIS (sekarang Universitas Indonesia).
Di tengah kiprahnya dalam dunia pendidikan, Prijono juga sempat dianugerahi penghargaan The International Stalin Prize for Strengthening Peace Among Peoples atau Penghargaan Internasional Stalin untuk Memperkuat Perdamaian antar-Manusia dari pemerintah Uni Soviet pada 18 Desember 1954.
Rekam jejak gemilang yang dimiliki Prijono, khususnya di bidang pendidikan pun membuat Presiden Soekarno menunjuknya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 14 Maret 1957.
Prijono pun disebut-sebut sebagai salah satu loyalis Bung Karno yang paling setia.
Hal ini dibuktikan ketika Presiden Soekarno mencetus Manipol/USDEK pada 17 Agustus 1959, yang ditetapkan sebagai haluan negara, Prijono langsung mengaitkan hal ini dengan program-programnya di dalam kementerian.
Prijono diculik
Sayangnya, kesuksesan Prijono mulai sirna setelah peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965.
Soekarno didemo mahasiswa, dengan salah satu tuntutannya membersihkan kabinet dari unsur PKI yang saat itu dianggap sebagai dalang G30S.
Meskipun Prijono bukan anggota PKI, ia menjadi salah satu pejabat yang menjadi sasaran demonstrasi mahasiswa.
Sebab sebelum peristiwa G30S berlangsung, Prijono disebut-sebut pernah mendukung pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang diserukan oleh pemimpin PKI DN Aidit.
Alhasil, HMI pun menggelar aksi demonstrasi yang salah satu tuntutannya adalah meminta Soekarno mencabut Prijono dari jabatannya sebagai menteri.
Presiden Soekarno sendiri tidak mengindahkan satu pun permintaan dari para demonstran tersebut.
Sejak saat itu, Prijono pun dijadikan target oleh gerakan mahasiswa Islam, yang berujung penculikan.
Menteri Prijono diculik oleh sekelompok aktivis mahasiswa Islam yang disebut-sebut mendapat dukungan dari Letnan Jenderal Soeharto.
Dukungan Soeharto sendiri didasari oleh kecurigaannya terhadap Prijono yang diduga berhaluan kiri atau komunis.
Pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno memang sudah memberi mandat kepada Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar untuk mengambil segala tindakan demi mendamaikan konflik pasca-G30S.
Soeharto kemudian menggunakan Supersemar sebagai alat untuk membubarkan PKI dan organisasi di bawahnya.
Selain itu, Soeharto juga membuat sebuah daftar nama pejabat tinggi yang dianggap komunis dan nama Prijono masuk di dalamnya.
Memang tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Prijono merupakan seorang komunis, tetapi partainya yang sosialis, yaitu Murba, sudah terlanjur dianggap pro-PKI.
Alhasil, mau tidak mau nama Prijono ikut terseret.
Pada akhirnya, Menteri Prijono berhasil ditangkap tanggal 16 Maret 1966 oleh aktivis yang tergabung ke dalam gerakan mahasiswa Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Laskar Ampera Arief Rahman Hakim.
Selain Prijono, banyak menteri-menteri lain yang juga ikut diciduk oleh Angkatan Darat.
Mereka yang diculik, termasuk Prijono segera dijebloskan ke dalam penjara.
Prijono kemudian meninggal dunia secara mendadak karena serangan jantung pada 6 Maret 1969.
Penghargaan
Semasa hidup, Prijono sudah mengantongi cukup banyak penghargaan berkat jasa yang ia kerahkan, khususnya dalam bidang pendidikan.
Berikut ini beberapa penghargaan untuk Prijono:
- Bintang Satya Lencana
- Bintang Gerilya
- Dwidya Sistha
- Penghargaan Perdamaian Stalin oleh Uni Soviet (1954)
Referensi:
- Sumardi, S. (1984). Menteri-menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1966. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- Vickers, Adrian. (2007). A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
- Tim Lembaga Analisis Informasi. (2007). Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto. Yogyakarta: MedPress.
Sumber dari : kompas.com 24 Juli 2022