Saat Nabi Ibrahim Bertemu Ayahnya di Hari Kiamat, oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: يَلْقَى إِبْرَاهِيمُ أَبَاهُ آزَرَ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَعَلَى وَجْهِ آزَرَ قَتَرَةٌ وَغَبَرَةٌ، فَيَقُولُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ: أَلَمْ أَقُلْ لَكَ لاَ تَعْصِنِي؟ فَيَقُولُ أَبُوهُ: فَاليَوْمَ لاَ أَعْصِيكَ، فَيَقُولُ إِبْرَاهِيمُ: يَا رَبِّ إِنَّكَ وَعَدْتَنِي أَنْ لاَ تُخْزِيَنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ، فَأَيُّ خِزْيٍ أَخْزَى مِنْ أَبِي الأَبْعَدِ؟ فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: إِنِّي حَرَّمْتُ الجَنَّةَ عَلَى الكَافِرِينَ، ثُمَّ يُقَالُ: يَا إِبْرَاهِيمُ، مَا تَحْتَ رِجْلَيْكَ؟ فَيَنْظُرُ، فَإِذَا هُوَ بِذِيخٍ مُلْتَطِخٍ، فَيُؤْخَذُ بِقَوَائِمِهِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ. رواه البخاري
“Dari Abu Hurairah Raḍiyallāhu ‘anhu, dari Nabi Sallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, Ibrahim alaihissalambertemu dengan ayahnya, Azar, di hari kiamat.
Di wajah Azar terdapat noda-noda hitam dan debu-debu. Ibrahim berkata kepada ayahnya: ‘Bukanlah telah aku katakan untuk tidak mengingkari aku (ajarank tauhid)?’ Lalu ayahnya mengatakan: ‘Hari ini aku tidak akan mengingkarimu’.
Lalu Ibrahim berdoa kepada Allah: ‘Wahai Rabb-Ku, bukankah Engkau telah menjanjikan bahwasanya Engkau tidak akan menghinakan aku di hari kebangkitan? Maka kehinaan mana yang paling berat dibandingkan aku dijauhkan dengan ayahku?’
Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku telah mengharamkan surga bagi orang-orang kafir’. Lalu dikatakan kepada Ibrahim: ‘Wahai Ibrahim, perhatikanlah apa yang ada di dekat kakimu!’ Lalu Ibrahim melihat di dekat kakinya ada seekor babi hutan yang kotor, babi tersebut lalu diseret dengan ikatannya pada kakinya, lalu dilemparkan ke neraka.” (HR Bukhari)
Neraka bagi Orang Kafir
Allah mengharamkan surga bagi orang-orang kafir, dan barang siapa yang mati dalam keadaan kafir kepada Allah maka ia akan kekal di dalam neraka, demikianlah ketetapan Allah. Sehingga tidak bermanfaat syafaat dan juga garis keturunan bagi mereka yang kafir dalam kehidupannya di dunia.
فَمَا لَنَا مِن شَٰفِعِينَ وَلَا صَدِيقٍ حَمِيمٖ فَلَوۡ أَنَّ لَنَا كَرَّةٗ فَنَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa’at seorangpun, dan tidak pula mempunyai teman yang akrab, maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman.” (asy-Syu’ara’: 100 – 102)
وَأَنذِرۡهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡأٓزِفَةِ إِذِ ٱلۡقُلُوبُ لَدَى ٱلۡحَنَاجِرِ كَٰظِمِينَۚ مَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ حَمِيمٖ وَلَا شَفِيعٖ يُطَاعُ
Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya. (Ghaffir: 18)
Hadits di atas menjadi dalil bahwa seorang anak tidak akan bermanfaat bagi orangtuanya jika tidak dalam keadaan Muslim pada Hari Kiamat. Demikian pula sebaliknya, orangtua juga tidak bermanfaat bagi anak-anaknya jika tidak dalam keadaan Muslim.
Oleh karena itu, kita wajib selalu bersyukur atas nikmat iman dan Islam, yaitu dengan selalu menjaga dan memeliharanya, sehingga membuahkan nilai ketaqwaan dengan seluruh dimensi yang melingkupinya dalam kehidupan ini.
Lebih khusus menjelang bulan suci Ramadhan 1443 H ini, kita siapkan diri kita untuk selalu memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya yakni dengan menyambut bulan suci ini dengan penuh kegembiraan dan bersiap mengarunginya dengan perencanaan ibadah kepada Allah yang lebih intens di dalamnya.
Hubungan Nabi Ibrahim dan Ayahnya
Semasa di dunia Nabi Ibrahim selalu mendakwahi ayahnya untuk mentauhidkan Allah. Akan tetapi ajakan itu selalu ditolaknya bahkan nabi Ibrahim kerap dimarahinya. Allah mempertemukan kembali Nabi Ibrahim dengan ayahnya di Hari Kiamat. Nabi Ibrahim melihat kepada ayahnya dalam keadaan ada noda hitam dan berdebu, terjadilah dialog antara keduanya: ‘Bukanlah telah aku katakan untuk tidak mengingkari aku (ajarank tauhid)?’ Lalu ayahnya mengatakan: “Hari ini aku tidak akan mengingkarimu.
Tentu dalam keadaan demikian sudah tidak bermanfaat lagi penyesalan. Tidak bisa diingkari bahwa Hari Kiamat merupakan hari penyesalan bagi seluruh umat manusia, karena seringkali menyia-nyiakan waktunya tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga dalam kehidupannya banyak motif-motif atau tendensi yang tidak semata-mata karena Allah akan tetapi karena faktor jaim, riya’, sum’ah, dan lain sebagainya.
Sebagai seorang anak, Nabi Ibrahim tentu sangat iba dengan keadaan ayahnya. Sekalipun Nabi Ibrahim tahu bahwa ayahnya itu telah kafir dan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi Nabi Ibrahim berusaha mengajukan syafaat kepada Allah untuk ayahnya.
Lalu Ibrahim berdoa kepada Allah: ‘Wahai Rabb-Ku, bukankah Engkau telah menjanjikan bahwasanya Engkau tidak akan menghinakan aku di hari kebangkitan? Maka kehinaan mana yang paling berat dibandingkan aku dijauhkan dengan ayahku?’
Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku telah mengharamkan surga bagi orang-orang kafir’. Lalu dikatakan kepada Ibrahim: ‘Wahai Ibrahim, perhatikanlah apa yang ada di dekat kakimu!’. Lalu Ibrahim melihat di dekat kakinya ada seekor babi hutan yang kotor, babi tersebut lalu diseret dengan ikatannya pada kakinya, lalu dilemparkan ke neraka”.
Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan: “Sesungguhnya Ibrahim berlepas diri dari ayahnya di dunia ketika ayahnya itu mati dalam keadaan musyrik, dan tidak meohonkan ampun untuknya. Akan tetapi ketika beliau berjumpa dengan ayahnya pada Hari Kiamat dia iba karena kelembutan pribadi nabi Ibrahim, maka ia memohon kepada Allah, akan tetapi ketika beliau memahami nahwa hal itu tidak ada gunanya, maka beliau berlepas diri selamanya.
Menghadap kepada Allah Sendiri-Sendiri
Hadits di atas juga memberikan isyarat bahwa masing-masing manusia akan menghadap kepada Allah sendiri-sendiri. Tiada yang bisa menolong kecuali amal dirinya yang diberengi dengan keihklasan kepad-Nya. Sehingga bukan semata amalan atau kapasitas diri yang menentukan yaitu dengan merasa lebih senior, lebih berilmu dan seterusnya. Akan tetapi ketakwaan kepada Allah yang utama.
وَكُلُّهُمۡ ءَاتِيهِ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ فَرۡدًا
Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (Maryam: 95)
وَلَقَدۡ جِئۡتُمُونَا فُرَٰدَىٰ كَمَا خَلَقۡنَٰكُمۡ أَوَّلَ مَرَّةٖ وَتَرَكۡتُم مَّا خَوَّلۡنَٰكُمۡ وَرَآءَ ظُهُورِكُمۡۖ وَمَا نَرَىٰ مَعَكُمۡ شُفَعَآءَكُمُ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُمۡ أَنَّهُمۡ فِيكُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْۚ لَقَد تَّقَطَّعَ بَيۡنَكُمۡ وَضَلَّ عَنكُم مَّا كُنتُمۡ تَزۡعُمُونَ
“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu.
Dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).” (al-An’am: 94)
Kita memohon kepada Allah semoga kita semua mendapat ma’unah-Nya untuk tetap istikomah dalam menjalankan agama ini dan dapat menjaga nilai keikhlasan hanya kepada-Nya. Amin. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Sumber dari: pwmu.co 25 Maret 2022