PIKIRAN RAKYAT – Bung Tomo merupakan salah satu tokoh pahlwan dalam peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Bung Tomo turut melawan penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia, tepatnya Kota Surabaya.
Oleh karena itu, nama Bung Tomo begitu lekat dengan ikon perlawanan bangsa Indonesia dan arek-arek Suroboyo.
Salah satu ucapan Bung Tomo yang populer hingga saat ini, ‘Merdeka atau Mati’ menjadi salah satu semboyan penyemangat bangsa.
Bung Tomo terlahir dengan Sutomo pada 7 Oktober 1920 di Kampung Blauran, Surabaya.
Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, salah satu pribumi golongan menengah yang pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah, serta staf perusahaan ekspor-impor Belanda.
Sementara ibunya bernama Subastita, seorang berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda dan Madura yang pernah menjadi distributor lokal perusahaan mesin jahit.
Masa kecilnya dihabiskan Surabaya. Kendati tumbuh di keluarga yang mengedepankan pendidikan, Bung Tomo pada usia 12 tahun terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena turut terdampak Great Depression yang melanda dunia saat itu.
Maka untuk membantu perekonomian keluarganya, Bung Tomo kecil mulai bekerja serabutan.
Namun tak lama dari itu, Bung Tomo mulai kembali mengenyam pendidikan di HBS secara korespondensi. Dia tercatat sebagai murid yang lulus, kendati tidak secara resmi.
Kemudian, dia bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Saat 17 tahun, Bung Tomo berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum penjajahan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.
Selain itu, Bung Tomo muda juga aktif berkecimpung di dunia kepenulisan dan jurnalisme. Dia sempat menjadi peulis lepas untuk harian Soeara Oemoem.
Saat usianya menginjak 18 tahun, dia sudah diangkat menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat.
Saat berusia 25 tahun, dia menjadi Kepala Kantor Berita Antara di Surabaya. Bahkan ketika Indonesia merdeka, Bung Tomo memberitakan kabar tersebut dalam Bahasa Jawa agar tidak terkena sensor dari Jepang.
Selain menjadi jurnalis, dia pernah terpilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru dan Pemuda Republik Indonesia di Surabaya pada 1944. Itulah titik awal keterlibatannya dalam pertempuran 10 November.
Dia menggelorakan rakyat Indonesia, khususnya di Surabaya, untuk melawan penjajah Inggris ingin kembali menjajah Indonesia.
Bung Tomo menyuarakan orasi-orasinya lewat radio untuk membakar semangat rakyat guna berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Di sisi lain, Bung Tomo melangsungkan pernikahan dengan pujaan hatinya saat masa revolusi pada 19 Juni 1947. Pernikahannya dilaksanakan saat bangsa Indonesia tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda dan sekutunya.
Sutomo menikah dengan Sulistina, seorang mantan perawat Palang Merah Indonesia (PMI). Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, masing-masing bernama Titing Sulistami (lahir tanggal 29 Juni 1948), Bambang Sulistomo (lahir tanggal 22 April 1950), Sri Sulistami (lahir tanggal 16 Agustus 1951), dan Ratna Sulistami (lahir tanggal 12 November 1958).
Memasuki masa revolusi 1945 hingga 1949, Bung Tomo menjabat sebagai Ketua Umum Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (PRI).
Selain itu, dia juga pernah menjadi Dewan Penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Ketua Badan Koordinasi Produksi Senjata seluruh Jawa dan Madura.
Sementara pada 1950 hingga 1956, Bung Tomo masuk ke dalam jajaran Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran. Dia merangkap sebagai Menteri Sosial (Ad Interim).
Namun lambat laun karier Bung Tomo di panggung politik mulai tenggelam. Ketika awal Order Baru pada 1978, dia ditahan oleh pemerintah karena kritiknya. Setahun kemudian, dia dibebaskan.
Sejak saat itu, Bung Tomo tampaknya tak lagi berminat untuk bersikap vokal terhadap kondisi pemerintahan. Dia pun mulai fokus dengan keluarga serta mendidik kelima anaknya.
Bung Tomo menghembuskan napas terakhirnya apda 7 Oktober 1981. Dia meninggal dunia di Padang Arafah saat tengah menunaikan ibadah haji.
Jenazahnya dibawa ke Indonesia untuk kemudian dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngagel di Surabaya, sesuai wasiatnya yang enggan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan.
Sumber dari : pikiran-rakyat.com 4 Juni 2022