
PWMU.CO – Pekan itu merupakan ujian yang berat bagi kami. Puncak gelombang II Covid-19 membara. Hari Selasa (22/6/2022) malam, istri saya, Enny Soetji Indriastuti masuk rawat inap di sebuah rumah sakit di Surabaya. Istri terkonfirmasi positif Covid-19 varian Delta. Hari Rabu, putri kedua kami, Fina Sulthon, menyusul ibunya, dirawat di rumah sakit yang sama. Kamis larut malam, giliran saya dan putri keempat, Faza Sulthon, masuk rumah sakit.
Saya dan Faza dirawat di RS Siti Khodijah Sepanjang, Sidoarjo. Sebelum masuk rumah sakit, saya sempat mengirim pesan Whatsapp (WA) kepada istri mengabarkan hasil tes kesehatan saya dan Faza yang tidak bagus. Saya juga menyampaikan bahwa kami berdua harus opname di RS Siti Khodijah. Hasil computerized tomography (CT) Scan paru saya dan Faza menunjukkan hasil Pneumonia. Keesokan paginya, saya cek handphone dan melihat pesan Whatsapp saya semalam terkirim, namun belum dibaca.
Jumat (25/6/2022) bakda Subuh, saya telepon Mizan Sulthon, putra pertama kami. Ratih Rahmasari istrinya yang menerima menyampaikan bahwa semalaman suaminya di rumah sakit konsultasi perihal ibu dan adiknya. Pulang agak malam membuatnya dalam kondisi kurang fit. Dalam pembicaraan melalui telepon itu, saya mengajak Ratih untuk menyampaikan ke suaminya membahas kekayaan keluarga. Saya katakan untuk me-recovery semua harta di saat keluarga menerima cobaan berat ini.
Pagi hari, saya melihat ada missed call dari Mas Ahmad Basuki Babussalam anggota DPRD I Pemprov Jawa Timur dari PAN. Belum sempat saya telepon balik, ada suara ketukan pintu.
Setelah saya bilang, “Silakan masuk,” ada orang mengenakan alat pelindung diri (APD) masuk ke kamar.
Saya tanya, “Siapa nggih?”
Orang itu menjawab, “Dalem Basuki, Bapak.”
“Lho Mas Bas,” sapa saya.
“Ya Bapak, saya utusan,” jawab Mas Basuki sambil mendekat ke ranjang tempat saya berbaring.
Mendengar jawaban Mas Basuki, saya balik bertanya singkat, “Utusan?”
Ia menjawab, “Ibu, Bapak.”
Saya tidak berpikir panjang, saya tukas, “Ibumu tidak ada?”
Ia menganggukkan kepala. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” ucap saya.
Mas Basuki berusaha mendinginkan suasana hati saya, “Ini hari Jum’at, hari baik, Bapak.”
Saya meresponnya dengan menganggukkan kepala.
Yaa Allah Yaa Rabb! Kepala saya menerawang terasa kosong.
Faza yang berada di sebelah saya menyadarkan dengan pertanyaannya, “Mama meninggal Yah?”
“Ya,” jawab saya singkat. Tangisnya meledak memenuhi ruangan.
“Teruskan tangismu kalau itu untuk melepas dengan ikhlas kepergian mama,” kata saya.
Di antara isaknya, ia bertanya, “Mama meninggal Yah, Ayah sakit, siapa yang akan menikahkan saya?”
Anak perempuan saya itu memang seharusnya menikah keesokan harinya, Sabtu, 26 Juni 2021. Rencana, pernikahannya akan digelar di Agro Mulia, Prigen, Pasuruan.
Mas Basuki saya minta berkoordinasi dengan Pak Tamhid Masyhudi, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM). Perjalanan jenazah dari rumah sakit menuju Pemakaman Umum Keputih, Sukolilo, Surabaya saya harap bisa dilewatkan Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM), Jalan Medokan Semampir Indah.
Saya minta ia mencoba negoisasi agar mobil ambulans bisa singgah di SAIM dan memungkinkan dilaksanakan salat jenazah di pelataran sekolah. Jenazah tetap dalam mobil ambulans. Melalui grup Whatsapp “Rapat PWM”, saya menginformasikan perihal rencana ini.

Menulis dengan Air Mata
Air mata saya tidak menetes sama sekali kala itu. Berbeda dengan ketika saya merangkai kata perkata tulisan ini. Berderai dan bercucuran sejak pagi. Saya tak mampu membendungnya.
Delapan bulan berlalu, kenangan menyedihkan itu masih saja melekat erat di pelupuk mata. Duh Gusti, semoga linangan air mata ini ikut menuntaskan duka, menyudahi kepedihan ini, mengiringi kepergiannya di sisi-Mu. Kuatkan hamba yang fakir dan papa ini. Berilah kemampuan mengikhlaskan keabadiannya. Bimbinglah kami membuka lembaran baru kehidupan kini, dan esok. Kami sepenuhnya pasrah kepada-Mu, Rabb.
Setelah mendapatkan kabar kepergian istri, saya termenung pilu. Saya berdoa semoga saya kuat dan tidak terjadi apa-apa pada diri ini. Melihat kondisi pandemi yang semakin tidak terkendali kala itu, saya sebenarnya sudah berupaya mempersiapkan diri menghadapi situasi yang tidak diharapkan. Jika istri mendahului, saya akan tetap berusaha kokoh dan tidak jatuh. Namun demikian, antara teori dan realita seringkali berbeda. Tentu ini bukan kebetulan.
Sebagai seorang suami, saya lara karena tidak bisa berbuat banyak. Di saat istri sakit, saya tidak bisa menemaninya. Tidak bisa membisikkan kalimat tauhid di saat sakratulmaut tiba, dan tidak bisa ikut menyucikannya. Sebagai suami, saya tentu merasa lebih pantas melakukan semua itu. Hubungan kami sudah tiga puluh tujuh tahun. Pergaulan yang luas (afdha), tanpa batas seperti al-Quran mengilustrasikan (an-Nisa: 21).
Sebagai kepala keluarga, saya juga tidak bisa menyalatinya. Saya yang seharusnya menjadi imam salat jenazah, shalat untuk kali terakhir membersamainya. Kesempatan mengantarkan dan menguburnya pun tidak saya dapatkan. Kesempatan yang ingin saya lakukan bersama anak lelaki kami.
Hidup ini memang misteri. Saya tidak mampu menguak rahasia ini. Tuhan, Engkaulah pemilik jagad raya ini. Engkau yang mengetahui segala sesuatu. Dan tentu, Engkau yang lebih berhak segalanya.
Sempat Menjawab Pesan
Di tengah perasaan gundah, saya berbaring letih. Begitu cepat berita lelayu, ucapan bela sungkawa, dan doa menyebar di grup WA yang jumlahnya puluhan. Tak bisa dihitung yang mengirimkan pesan privat di handphone saya.
Saya menjawab dan mengaminkan doa-doa tersebut, meskipun tidak bisa optimal mengingat kondisi saya semakin lesu. Beberapa kolega juga menghubungi saya melalui telepon, seperti Prof Dr Moh. Nuh DEA. dan KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym). Saya menyampaikan bahwa kami bertiga sedang opname.
Alhamdulillah, ketika hati masih diselimuti dukacita, saya mendapat kiriman foto Pak Nur Cholis Huda, Wakil Ketua PWM memimpin jamaah shalat jenazah di halaman SAIM. Saya juga bersyukur bisa mengikuti doa bersama via Zoom Meeting yang mendoakan kesembuhan kami sekeluarga yang terpapar Covid-19. Termasuk yang lockdown di rumah terhitung delapan orang dan dua cucu balita.
Dengan mata terpejam, lantunan munajat Ustadz Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua PWMJatim, kami resapi dan amini bersama ratusan pemirsa: keluarga, sahabat, kolega, dan jamaah.
Bakda Asar, perawat mengecek kondisi saya. “Pak Sulthon, saturasinya turun terus. Dokter tidak mengizinkan Bapak dirawat di kamar ini. Harus pindah ke ICU. Saya siapkan ya,” pinta perawat setelah mengetahui kondisi saya.
“Ke ICU suster?” tanya saya, lemas. Malam itu saya dibawa ke ruang ICU. Saya dimasukkan dalam sebuah kamar yang sudah ada penghuninya.
Di ruangan itu, suasana agak mencekam. Suara mesin saling bersautan dan kadang diiringi suara seseorang memanggil perawat. Teman yang lebih awal menghuni kamar ICU tersebut dipindah ke kamar lain. Pagi harinya saya tanyakan kabarnya ke perawat dan disampaikan bahwa beliau sudah meninggal.
Dirujuk Ke RSUA
Selama di ICU, saya tidak tahu detail perkembangan kesehatan saya. Saya hanya dapat kabar bahwa saya akan dirujuk ke Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA). Keesokan harinya, saya dipindahkan dari RS Siti Khodijah ke RSUA menggunakan ambulans.
Itu adalah pengalaman pertama saya naik ambulans sambil rebahan. Saya dalam kondisi terjaga ketika perjalanan dari Siti Khodijah ke RSUA. Saya mencoba memejamkan mata malah terasa kepala pusing.
Sesampai di RSUA, saya menunggu sebentar dan dimasukkan ke ruangan ICU besar. Ada sekitar sepuluh penghuni. Saya diletakkan di pojok ruang: tempat yang tersisa. Ketika di ruangan tersebut, saya merasa lunglai dan mulai berat bernafas. Pandangan saya terasa berat. Mata lebih enak dipejamkan meskipun tidak tidur.
Suatu ketika, saya terbangun. Saya duduk dan di depan saya terlihat ada tenaga kesehatan (nakes) membawa sesuatu seperti bulu berwarna putih. “Hirup Pak, hirup,” pintanya. Tanpa tanya, saya langsung menghirup. Saya mencium bau wangi dan saya tidak ingat lagi. Saat itu rupanya saya sedang dibius total. Saya ditidurkan, infonya selama lima hari.

Dipasang Ventilator
Setelah saya siuman, saya bertanya dalam hati, “Ini jam berapa?” Sudah lama saya tertidur. Sudah lama saya tidak shalat. Rasanya tidak bisa menghitung. Astaghfirullah Al Adzim, saya cuma bisa beristighfar dalam hati.
Saya baru sadar tidak mampu leluasa bergerak. Masing-masing tangan diikat dipinggir ranjang kanan dan kiri. Demikian juga kedua kaki, tidak bisa bebas diangkat. Suara tidak bisa keluar, ada selang di mulut masuk ke dalam tenggorokan.
Yang teringat suara tartil al-Quran yang familiar di telinga saya. Kalau tidak salah suara Syekh Mishari Rashid yang terdengar dari ruang sebelah. “Mungkin ruang untuk nakes,” pikir saya. Belum genap berpikir, saya tertidur lagi.
Saya dibangunkan oleh salah satu nakes dan ditanya, “Apa benar ini Pak Sulthon?”
Saya jawab dengan anggukan karena mulut masih tersumbat selang.
“Makan Pak?” tanyanya. Saya mengangguk lagi.
“Cepat dihisap, cepat dihisap. Cukup-cukup. Sudah selesai,” itulah kata-kata yang saya ingat. Kata-kata yang mengiringi proses makan yang sakitnya, masyaallah, tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Meskipun saya menghisap makanan dengan cepat, hal itu tidak mengurangi rasa sakitnya. Nyaris komplit penderitaan saya.
Setiap kali saya diberitahu waktunya makan, saya menangis dalam hati. Makan menjadi pengalaman mengerikan.
“Yaa Allah, bisakah tidak makan dulu, saya tak tahan sakitnya,” munajat saya. Kondisi tersebut membuat saya berpikir introspeksi. Apa yang saya alami itu masih di dunia. Ketika saya masih punya keluarga. Saya masih punya kolega yang ahli merawat sakit saya. Saya masih punya finansial untuk membiayai perawatan saya.
Dalam kondisi seperti itu, saya tidak punya kuasa terhadap diri saya. Tidak bisa berbuat banyak untuk menolong diri sendiri. “Bagaimana kelak di yaumul hisab? Apa yang bisa membebaskan diri saya?” pikir saya. Pada saat itu, saya hanya seorang diri dan hanya bergantung pada Sang Khalik semata.
Sejak saat itu, saya berikrar pada diri sendiri. Saya harus menjadi pribadi yang lebih baik setelah sembuh nanti. Lebih hati-hati dalam segala hal. Saya berusaha memantaskan diri menjadi hamba-Nya. Hanya kepada Allah saja berharap ampunan, bimbingan, dan rahmat-Nya.
Saya berkomitmen untuk menahan diri berkomentar di grup Whatsapp. Kalau menemukan yang kurang pas, tidak akan langsung nyerocos. Saya tidak akan berkomentar miring dan mencemooh. Saya usahakan hanya kirim untaian doa.
Saya benar-benar tidak tahu detail kondisi saya ketika dirawat di rumah sakit. Saya baru tahu ketika sudah pulang dan mendapat cerita dari Mizan. Ia menyampaikan kondisi sakit saya semakin memburuk ketika di RSUA. Dokter meneleponnya dan minta izin untuk memasang ventilator. Saya pernah berpesan ke anak-anak, “Kalau terjadi sesuatu kepada saya, jangan sampai dipasang ventilator.” Saya juga berpesan hal yang sama kepada nakes di rumah sakit.
Permintaan dokter tersebut di atas menempatkan Mizan bagaikan makan buah simalakama. Ia ingat betul pesan saya terkait ventilator.
“Pak Dokter, apa tidak ada alternatif lain selain ventilator?” tanya Mizan.
“Mas, ini usaha saya terakhir. Kalau Bapak dibiarkan, Sampean tahu akibatnya,” jawab dokter.
Mizan balik bertanya lagi probilitas keberhasilan penggunaan ventilator.
“Sepuluh persen,” jawab dokter.
“Baiklah Dok, bismillah, kami izinkan Bapak dipasang ventilator,” respon akhir Mizan kepada dokter. Pada akhirnya, Mizan pasrah kepada Allah.
Traumatis dan panik menyelimuti psikologi anak-anak, ketika saya di rumah sakit. Kondisi saya turun naik. Mizan dikabari panas saya tinggi. Ia merasa bersalah terkait keputusan pemasangan ventilator kepada saya. Ia khawatir kondisi yang saya alami adalah bentuk protes karena dipasang ventilator. Selain mengalami demam, keluarga juga mendapatkan kabar bahwa tensi darah saya naik dratis. Hal itu tidak lazim karena biasanya saya menderita hipotensi.Baca Juga: Digandrungi Anak karena Game Berhasil Mencuri Bahasa Orangtua
Dalam situasi yang diselimuti kekhawatiran itu, Mizan menghubungi Asep Haerul Ghani (Kang Asep), seorang psikolog senior dari Tasikmalaya yang dekat dengan keluarga kami. Beliau sering kali kami minta memberikan sesi konsul ketika ada problem. Kang Asep memberikan nasihat agar anak-anak mengirim voice mail membangun semangat hidup kepada saya. Dengan bantuan dari nakes, voice mail dari keluarga saya diperdengarkan.
Menurut Kang Asep, meskipun tidak sadar, pikiran bawah sadar saya masih bisa mendengar. Pesan yang disampaikan kepada saya, antara lain:
“Bapak harus sembuh, Bapak masih punya kewajiban menikahkan Faza.”
“Bapak harus tetap semangat untuk mendampingi kami.”
“Bapak masih dibutuhkan umat.” Dan banyak lagi yang lain.
Long Covid
Setelah selang dan infus dicopot, saya merasa lega. Meskipun fisik saya masih lemah, ketika mendapat telepon dari anak dan cucu rasanya bahagia sekali. Saya juga mendapat telepon dari Direktur RSUA, Prof Dr Nasronuddin dr, SpPD, KPTI-FINASIM. Beliau bukan orang lain bagi kami. Beliau adalah dokter keluarga kami. Motivasinya menggugah semangat saya untuk sembuh.
Saya sempat uring-uringan ketika di rumah sakit. Ketika saya bertanya kepada nakes kapan saya diizinkan pulang.
Dia menjawab, “Besok”.
Ketika keesokan harinya saya menagih janji, dijawab, “Besok” lagi.
Kondisi itu membuat saya uring-uringan. “Ini saya yang salah dengar atau memang kondisi saya masih belum fit sehingga belum diizinkan pulang?” tanya saya.
Mendapati saya agak marah, pihak RSUA menghubungi Mizan. Anak saya itu bingung mendapat kabar tersebut. Ia kemudian bertanya ke Prof Dr Aryati dr MS SpPK (K), penanggung jawab laboratorium Parahita.
Beliau menjawab, “Kalau bapak sudah begitu berarti sudah sembuh.”
Saya sudah tidak tahan lagi dirawat di rumah sakit. Saya merasakan beban psikologis terasa berat, meskipun baru sekitar dua pekan dirawat. Karena ingin bertemu keluarga, saya agak memaksa Mizan untuk segera mengurus kepulangan saya. Ia tampaknya menyadari bahwa Bapaknya tidak bisa dicegah lagi. Ia bisa membaca stres berat di raut muka ini.
Mizan cepat tanggap melihat keadaan saya masih lemah sepulang dari opname. Saya dikonsulkan ke dr Fuad Hamdun SpPD FINASIM, hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih jelek dan menyarankan harus masuk rawat inap lagi. Keputusan tersebut ditentang anak sulung dengan dalih, bila bapak opname lagi akan ngedrop.
Istirahat di rumah membuat saya tenang dan bisa tidur pulas, meski belum sehat sepenuhnya. Selama di rumah, saya dijaga dua mahasiswa semester akhir Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya UMSurabaya). Mereka secara bergantian mengecek perkembangan saya dan memberikan perawatan seperti di rumah sakit; mengukur tensi, melihat saturasi, memasang oksigen karena saturasi masih sekitar 91-92, dan memberi obat. Alhamdulillah setelah tiga hari, hasil pemeriksaan laboratorium sudah mulai membaik.
Beberapa hari di rumah, saya mulai bisa berkirim pesan dan menelpon teman dan pihak-pihak yang membantu saya ketika sakit, antara lain Prof Dr Muhadjir Effendy MAP Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK); Prof Dr Nasronuddin dr SpPD KPTI-FINASIM, Direktur RSUA; dr H Muhammad Hamdan SpS(K), Direktur RS Siti Khodijah Sepanjang; dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu di sini.
Dalam komunikasi dengan dokter Hamdan, beliau bercerita Pak Menteri Koordinator Bidang PMK memberi perhatian khusus kepada saya. Staf khusus beliau meminta update kondisi saya tiap dua hari sekali. Perhatian juga diberikan Ibu Dr (HC) Ir Tri Rismaharini MT, Menteri Sosial, lewat Mas Arief An, Staf Khusus Mensos yang ikut membantu mencarikan darah untuk saya. Bu Risma adalah teman istri saya ketika belajar di SMAN 5 Surabaya.
Saya juga mulai beraktivitas mengikuti rapat harian PWM Jatim. Memberi motivasi kepada sivitas akademi UMSurabaya. Karena sekitar dua puluh dua dosen dan karyawan, yang terpapar Covid 19. Saya juga menyapa teman-teman di Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) dan Laboratorium Parahita. Kondisi saya secara umum berangsur-angsur membaik dan terus berikhtiar agar psikis dan fisik pulih sepenuhnya.
Saya masih mengikuti terapi ozon, fisioterapi, dan selama kurang lebih tujuh bulan, harus dibantu oksigen ketika tidur. Seiring berjalannya waktu, lutut mulai membaik dan mulai bisa duduk iftirasy. Ikwal emosi saya berangsur membaik. Pencernaan saya beranjak membaik, walaupun masih ada beberapa makanan sensitif terhadap lambung.
Berkenaan saturasi yang lambat menuju normal, saya berkonsultasi dengan dr Mohammad Subkhan SpP, ahli paru dari rumah sakit Siti Khodijah. Menurut beliau, paru-paru saya ada restriksi ringan. Walaupun sudah diobati berbulan-bulan, hasilnya masih belum signifikan.
Saya disarankan untuk melakukan olahraga secara bertahap, dimulai dengan yang ringan. Olahraga yang disarankan adalah berenang karena sangat bagus untuk pernafasan. Renang sebenarnya sudah saya tinggalkan puluhan tahun silam tapi saya lakukan lagi untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Saya juga melakukan latihan fitnes untuk melatih otot.
Yaa Rabb, Covid-19 mengedukasi manusia hidup sehat jasmani dan rohani. Saya harus bersabar menjalani cobaan ini. Belum selesai proses penyembuhan dari varian Delta, saya ditamui juga varian Omicron selama sepekN. Saya sudah pasrah kepada Sang Pencipta. Saya ketawa cekikikan untuk menghadapinya, berupaya menciptakan suasana adem, riang, dan bahagia agar membuat imun naik.
Imun yang tinggi bisa mengalahkan varian Delta tempo hari dan saya yakin juga bisa dengan mudah menaklukkan varian Omicron yang pupuk bawang ini, insyaallah. Dinamika ini semua adalah qadarullah, sebagai hamba-Nya saya rida menjalaninya.
Pernyataan dr Mohammad Subkhan SpPmembuat saya berkontemplasi cukup lama. Beliau menyampaikan, “Kalau Bapak bisa sembuh dari ventilator, kami para dokter tidak bisa diskusi. Secara ilmiah dunia kedokteran tidak bisa menjawab. Ini benar-benar rezeki dari langit.”
Subhanallah, ajal memang hak prerogatif Tuhan. Tidak bisa dimajukan maupun diundurkan. Rahasia milik Allah itu tidak diberikan kepada para nabi dan rasul-Nya, apalagi kepada manusia pada umumnya.
Kematian bisa datang tiba-tiba. Apalagi di saat kritis seperti itu. Kalaulah terselamatkan, tidak cacat hanya butuh kesabaran untuk pemulihan. Sungguh sebuah rahmat, artinya Sang Penguasa jagat terhadap hamba-Nya yang dhaif ini masih memberi kesempatan lagi.
Amanah kehidupan hendaknya dimaknai lebih luas sehingga lebih berarti, maslahat dan sarat akan nilai. Tanggung jawab dakwah yang diembannya lebih dielaborasi secara optimal, baik kuantitas dan kualitasnya. Dengan memberdayakan sumber dana dan sumber daya yang ada, insyaallah capaiannya akan maksimal. Semoga!
*) Wakil Ketua PWM Jatim, Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMSurabaya, Ketua Badan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya, Direktur Utama Laboratorium Klinik PARAHITA Surabaya.
Sumber dari: pwmu.co 26 Maret 2022