KOMPAS.com – Salah satu tokoh Belanda yang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa adalah Frans Van Lith.
Van Lith adalah seorang imam Jesuit yang pertama kali membaptis orang Jawa saat ia berada di Sendangsono, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 1904.
Semasa hidup, Van Lith mengabdikan dirinya untuk memajukan pendidikan di Pulau Jawa, salah satunya di Muntilan, Jawa Tengah.
Bukti perjuangan pendidikan yang dilakukan Van Lith dapat dilihat dari pendirian sekolah yang sekarang dikenal dengan nama SMA Pangudi Luhur Van Lith di Muntilan, Jawa Tengah, pada 1904.
Dulunya, sekolah ini sempat digunakan untuk mendidik para calon guru Sekolah Dasar (SD) dengan sistem asrama, tetapi saat ini sekolah tersebut difungsikan untuk mendidik para pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA).
Awal kehidupan
Pria yang bernama panjang Franciscus Georgius Josephus Van Lith lahir di Oirschot, Belanda, pada 17 Mei 1863.
Van Lith berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya adalah seorang pegawai pengadilan yang bertugas sebagai juru sita dan ibunya bekerja sebagai juru pamong.
Saat usianya baru empat tahun, Van Lith dibawa oleh kedua orangtuanya pindah ke Eindhoven.
Sejak kecil, sang ayah sudah berharap agar kelak Van Lith dapat meneruskan pekerjaan sang ayah sebagai juru sita.
Akan tetapi, Van Lith memiliki panggilan lain. Saat berusia 12 tahun, Van Lith mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang Imam Katolik.
Van Lith tidak tertarik untuk menjadi seorang juru sita, karena baginya pekerjaan tersebut tidak memiliki rasa kemanusiaan.
Keinginan Van Lith sendiri untuk menjadi seorang imam didorong dari buku milik Santo Fransiscus yang ia baca.
Setelah membaca buku itu, Van Lith berkeinginan untuk menjadi seperti Santo Fransiscus yang suci dan selalu mencari kehendak Tuhan atas hidupnya.
Sayangnya, karena keterbatasan ekonomi, kedua orangtua Van Lith tidak bisa membiayai pendidikannya untuk menjadi imam.
Namun, hal ini tidak membuat Van Lith berhenti. Ia memutuskan untuk mengikuti sebuah kursus perguruan.
Selama beberapa waktu, Van Lith terus menempuh pendidikannya di kursus tersebut sebelum akhirnya mendapat bantuan dari keluarga Katolik kaya raya tempat sang ibu bekerja.
Van Lith kemudian bersekolah di sebuah sekolah latin dan berhasil menyelesaikan pendidikannya selama dua tahun yang seharusnya ditempuh selama empat tahun.
Menjadi Imam Katolik
Setelah lulus, Van Lith tertarik untuk menjadi seorang Jesuit, yaitu anggota Serikat Yesus dalam ordo gereja Katolik Roma.
Pada 18 September 1881, Van Lith masuk ke Jesuit di Mariendaal, Grave, Brabant Utara, Belanda.
Van Lith juga sempat bersekolah di Stonyhurst, Inggris, selama tiga tahun untuk mendalami ilmu filsafat.
Setelah studinya di Inggris selesai, ia kembali ke Belanda dan diangkat sebagai guru di sebuah kolose di Katwijk, Belanda, di bagian perdagangan.
Selama menjadi guru, Van Lith dikenal sebagai sosok yang senang bercerita dan disiplin. Itulah mengapa banyak murid yang senang mengikuti kelasnya.
Pada 1891, Van Lith pindah ke Maastricht, Belanda, untuk menempuh pendidikan teologi di sana.
Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 8 September 1894, Van Lith berhasil menyelesaikan pendidikan teologinya dan ditahbiskan menjadi seorang imam.
Sebelum memulai misi penyebaran ajaran agama Katolik, Van Lith menghabiskan waktu selama kurang lebih satu tahun untuk mendalami tugas barunya sebagai Imam.
Kiprah di Jawa
Setelah persiapannya sudah matang, Van Lith dikirim ke Pulau Jawa untuk mulai menjalankan misi penyebaran ajaran agama Katoliknya.
Dalam misinya, Van Lith tidak hanya ingin menyebarkan ajaran Katolik saja, melainkan juga menyejahterakan masyarakat Jawa di bidang pendidikan.
Van Lith tiba untuk pertama kalinya di Semarang, Jawa Tengah, pada 1896.
Selama satu tahun, Van Lith dibekali ilmu budaya serta adat Jawa terlebih dahulu.
Kemudian, pada 1897, Van Lith dipindahkan ke Muntilan. Ia tinggal di sebuah desa bernama Desa Semampir, di pinggir Kali Lamat.
Van Lith mulai menjalankan misinya di Muntilan dengan membangun sebuah sekolah dan bangunan gereja.
Pada 1900, ia mendirikan sekolah Katolik bernama Normaalschool, lalu sekolah guru bahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, dan sekolah pendidikan guru pada 1906.
Pada 1904, Van Lith juga sempat berkunjung ke Sendangsono, Kulon Progo, Yogyakarta.
Di Sendangsono inilah Van Lith untuk pertama kalinya membaptis sebanyak 171 orang desa pada 14 Desember 1904.
Saat ini, lokasi pembaptisan tersebut menjadi tempat ziarah Sendangsono.
Selanjutnya, pada 1911, Van Lith membuka secara resmi sekolah seminari atau sekolah untuk calon pastor pertama di Indonesia.
Seminari yang didirikan Van Lith telah melahirkan pastor-pastor ternama, salah satunya Mgr A Soegijapranata yang menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang pada 1961.
Seiring berjalannya waktu, sekolah dan gereja yang didirikan Van Lith mulai mengalami perkembangan.
Selain di Muntilan, Van Lith juga sempat berencana mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Klaten, tetapi tidak berhasil karena ditolak oleh Asisten Residen.
Alasannya, karena di Klaten sudah berdiri HIS Kristen.
Karena penolakan itu, Van Lith meminta izin langsung kepada Residen Surakarta. Permohonannya pun langsung dikabulkan sehingga berdirilah HIS Kanisius Klaten pada 1920.
Kiprah Politik
Pada 1918, Van Lith ditunjuk untuk menjadi anggota Dewan Pendidikan atau Onderwijsraad.
Masih di tahun yang sama, ia juga menjadi anggota Komisi Peninjauan Kenegaraan Hindia Belanda atau Commissie tot Herziening van de Grondslagen der Staatsinrichting van Nederlandsch-Indië.
Komisi ini dibentuk dengan tujuan untuk merealisasikan tujuan pemerintah Belanda menata ketatanegaraan di Hindia Belanda yang melibatkan orang Belanda maupun pribumi.
Lewat kedua lembaga ini Van Lith terus memperjuangkan kepentingan pribumi, khususnya di bidang pendidikan.
Akhir Hidup
Pada 1920, kondisi kesehatan Van Lith sudah mulai menurun. Ia pun terpaksa harus meninggalkan misi di Jawa Tengah dan kembali ke Belanda untuk berobat.
Kemudian, bulan Juni 1924, Van Lith memutuskan untuk kembali dan menetap di Semarang.
Kedatangan Van Lith di Semarang mendapat sambutan yang sangat baik dari penduduk di sana, bahkan banyak dari mereka yang datang berkunjung ke kediamannya.
Sayangnya, selama tinggal di Semarang kondisi kesehatan Van Lith kian hari kian memburuk.
Akhirnya, pada 9 Januari 1926, Van Lith tutup usia di salah satu rumah sakit di Semarang.
Jenazahnya kemudian dibawa ke Muntilan dan dimakamkan di pemakaman Katolik di sana.
Salah satu peninggalan Van Lith yang masih ada adalah SMA Pangudi Luhur Van Lith yang berada di Muntilan, Jawa Tengah.
Pada 1952, sekolah yang didirikan oleh Van Lith diserahkan kepada Kongregasi Bruder Fratrum Immaculatae Conceptionis (FIC) atau ordo di Gereja Katolik yang didirikan oleh Mgr. Ludovicus Rutten.
14 tahun kemudian, 1966, setelah terjadinya beberapa perkembangan, sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Van Lith.
Lalu, pada 1991, pemerintah Indonesia menutup semua SPG, sehingga SPG Van Lith beralih fungsi menjadi SMA Pangudi Luhur Van Lith Berasrama Muntilan.
Selanjutnya, pada 2016, Van Lith dianugerahi penghargaan Tanda Kehormatan (Satyalancana) oleh Presiden Joko Widodo.
Referensi:
- Barat Daya, Bernadus dan Silvester Detianus Gea. (2017). Mengenal Tokoh Katolik Indonesia: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Hingga Pejabat Negara. Labuan Bajo: Yayasan Komodo Indonesia.
- Markus, Sudibyo. (2019). Dunia Barat & Islam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumber dari : kompas.com 18 Juli 2022