Refleksi Pendidikan Pasca-Pandemi Covid-19

Praktik pembelajaran tatap muka di salah satu sekolah di Surabaya.

DATA WHO, Virus Corona muncul dan menjadi wabah sejak Desember 2019 di Wuhan, China. Pertengahan Maret 2020, perkembangan Corona menyebar ke seluruh dunia.

Indonesia terdampak dan akhirnya memutuskan pembelajaran dari rumah. Pembelajaran onsite seperti mati suri, kelas-kelas sunyi, kursi-kursi berdebu, sekolah seperti tidak ubahnya bangunan yang tengah tidur.

Dampak Pandemi Covid-19 menimbulkan trauma yang dirasakan lama sampai beberapa tahun mendatang.

Para guru berjumpalitan memahami dunia digital yang merangsek. Mau tidak mau, guru-guru sepuh, senior harus berjuang keras memahami pembelajaran digital.

Bagaimana mengenal share screen di Zoom, membuat soal di Google Form, menulis dan menggambar di alat bernama drawing pad.

Dituntut keadaan, urgen dan harus, maka akhirnya terkuak bahwa selama ini banyak guru malas belajar karena belum berada pada posisi terpojok, kepepet. Dipaksa keadaan ternyata pengetahuan, teknologi bisa dimengerti.

Masalahnya ada di mindset. Kalau sudah terpikir tidak bisa, maka dengan segala alasan guru dan praktisi pendidikan akan menghindari dan mencari cara memakai cara lain selain memahami teknologi digital.

Sudah ada penolakan, merasa sudah senior, tua tidak harus belajar lagi, meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan cukup mengandalkan pengalaman dan hapalan yang melekat di kepala.

Bermodal galak dan menekan siswa pembelajaran berlangsung. Dampak bagi anak didik terpaksa belajar atau mengomel di belakang. Mereka menganggap gurunya kuno dan kurang update (kudet).

Sedangkan guru masa bodoh, toh sudah digaji dan banyak tunjangan yang membuat guru nyaman (kalau di kota besar seperti Jakarta).

Sejumlah pelajar belajar daring memanfaatkan jaringan internet gratis di kolong rel kereta api Mangga Besar, Jakarta, Rabu (26/8/2020). Fasilitas internet gratis menggunakan modem WiFi yang disediakan oleh warga setempat yang lebih mampu itu bertujuan untuk membantu kelancaran proses belajar daring siswa yang tidak mampu membeli paket kuota internet selama pandemi COVID-19.(ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)

Tapi lihat saja guru di pelosok, di daerah yang APBD-nya kurang, bagaimana nasib guru?

Untuk membeli laptop yang mampu untuk presentasi Zoom, Google Meet bukan hal yang mudah. Bukan seperti cerita indah dari guru-guru negeri dan guru swasta elite di kota besar.

Guru harus mencari hutangan, mencari tambahan pekerjaan agar bisa tetap bertahan dalam kesederhanaan kalau tidak bisa dibilang serba terbatas.

Saya kebetulan guru dan sangat beruntung berada di institusi pendidikan yang mapan. Meskipun Covid-19 cukup berpengaruh terhadap perekonomian, masih bersyukur sampai saat ini mampu menikmati hidup dan belajar memahami dan mengikuti pembelajaran berbasis digital.

Di usia yang sudah lebih dari kepala lima, saya semangat belajar, memahami aplikasi digital belum kendor, meskipun harus cukup belajar dan terus menerus bertanya pada yang lebih muda.

Covid-19 mengajarkan betapa manusia tidak boleh gampang kaget dan kemudian terbirit-birit, terpaksa belajar kalau tidak ingin ketinggalan.

Bersyukur karena proses menulis membuat semangat belajar tidak pernah kendor. Itulah gunanya rutin menulis karena mau tidak mau saya ditantang untuk terus belajar dan belajar.

Covid-19 telah banyak mengubah banyak hal. Banyak orang menjadi reflektif, ketika sering berada di rumah, membuat banyak manusia sadar pentingnya kesehatan dan bagaimana mencegah terjangkitnya virus dengan protokol kesehatan.

Tahun di mana penyakit meneror dan banyak yang menjadi korban menjadi pembelajaran bahwa manusia ternyata makhluk lemah, tidak berdaya ketika ada penyakit yang membuat orang yang kekar dan gagah perkasa pun terkapar kalau tidak menjaga kesehatannya.

Kini Covid-19 hampir menjadi endemik. Mungkin virusnya hampir sama dengan penyakit lain, sudah ada antibodi, vaksin yang bisa mengurangi dampak virus Covid-19.

Pembelajaran kembali dilakukan di sekolah meskipun masih harus mengenakan masker dan mengontrol kesehatan dengan mengecek suhu tubuh sebelum beraktivitas di sekolah.

Sekolah hidup kembali dan interaksi kembali berjalan setelah sebelumnya para siswa hidup dalam dunia masing-masing, hanya lewat layar-layar yang berbaris di aplikasi digital.

Interaksi antaranak didik selama belajar daring tidak sama ketika pembelajaran onsite. Seperti hidup dalam kutub masing-masing.

Seperti ada kepalsuan yang membuat karakter siswa kurang terbentuk, tidak bisa menerapkan apa yang dinamakan senyum, sapa, santun.

Interaksi manusia yang mampu membangkitkan empati dan sifat-sifat manusia yang saling membantu, menolong dan saling memberi perhatian dengan kontak langsung.

Perubahan dan kembalinya pembelajaran seperti semula membuat institusi pendidikan berharap banyak untuk mengembalikan pendidikan karakter yang mampu membuat siswa lebih peduli, lebih menghargai perubahan, dan juga toleran tentunya.

Sebab saya melihat banyak hal berubah ketika interaksi media sosial menggerus moral anak bangsa. Cetusan, komentar, fanatisme membuat kekhawatiran pada masa depan bangsa.

Sementara dunia politik saling sindir, saling menjatuhkan dengan mengusung isu-isu yang membawa masyarakat menjadi fanatik. Baik fanatik secara idiologi juga fanatik dalam hal interaksi beragama.

Seperti ada pembelahan antara yang modern, liberal dengan mereka yang menganut fanatisme sempit, dan berusaha kembali bernostalgia pada paham agama yang banyak mengandalkan primordialisme, kekerasan dan meliyankan penganut agama lain.

Kita rindu interaksi menyejukkan, bukan isu-isu fanatisme sempit yang menakutkan. Maka di sini peran guru besar untuk meletakkan dasar moral, karakter agar anak didik tidak mudah terprovokasi oleh paham yang menggiring untuk menjauh dan bersikap rasis, fanatik.

Pendidikan akan berhasil jika mampu membentuk karakter yang jujur, terbuka dan menghargai perbedaan.

Jangan sampai yang cerdas dan pandai tercuci otaknya untuk menjadi manusia masa lalu hanya karena paham-paham yang bisa mengubah karakter semula yang damai menjadi mudah curiga.

Refleksinya adalah pendidikan harus mampu mengubah karakter manusia. Mengantarkan mereka untuk maju, berkembang tanpa kehilangan karakter sebagai manusia yang butuh manusia lain, menghargai budaya, menghargai keragaman dan bisa bersinergi tanpa tersekat hanya karena perbedaan keyakinan.

Di sisi lain manusia juga harus selalu belajar dan bekerja keras untuk bisa bersaing dengan negara lain untuk bisa menciptakan sains dan teknologi yang bermanfaat bagi manusia.

Semoga dengan kembalinya sekolah dari online ke onsite memberikan warna baru, penguasaan teknologi tetap penting, karakter manusia pun penting karena manusia bukan robot tapi makhluk berbudaya.

Sumber dari : kompas.com 30 Mei 2022

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
0 Shares
Tweet
Share
Pin
Share