
PWMU.CO – Kajian ini berangkat dari hadits riwayat Muttafaqun alaih, sebagai berikut:
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كنا جلوسًا ليلة عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةً يَعْنِي الْبَدْرَ فَقَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا ثُمَّ قَرَأَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ. متفق عليه
Dari Adi bin Hatim radliyallahu anhu, berkata, “Pada suatu malam kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu beliau melihat ke arah bulan purnama.
Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesak-desakan dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terlewatkan dalam melaksanakan shalat sebelum terbit matahari (Subuh) dan sebelum terbenamnya (Ashar), maka lakukanlah.’
”Beliau kemudian membaca ayat, artinya, ‘Dan bertasbihlah sambil memuji Rabbmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya.’” (Qaf: 39) (Muttafaqun ‘alaih)
Melihat Allah
Puncak kebahagiaan itu adalah ketika seorang hamba dapat melihat Allah Subhanahu wa Taala, sebagaimana isyarat hadits di atas. Melihat ciptaan-Nya yang begitu indah saja kita sudah terkagum-kagum, apalagi melihat pencipta-Nya.
Tentu saat ini hal itu tidak mungkin, karena Allah tidak bisa dibayangkan wujudnya, dan hal ini justru sangat terlarang dan diharamkan, karena yang akan dilakukan adalah mengilustrasikan Allah dengan sesuatu. Padahal Allah tidak serupa dengan apapun yang ada di dunia ini, yang notabene semua ini adalah ciptaanNya atau makhluk-Nya.
فَاطِرُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَمِنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ أَزۡوَٰجٗا يَذۡرَؤُكُمۡ فِيهِۚ لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (asy-Syura: 11)
Laisa kamitslihi syaiun merupakan kata kunci yang tidak boleh dilanggar, yakni Allah tidak ada yang serupa dengan-Nya. Maka tidak boleh, bahkan dilarang keras, kita membayangkan bagaimana Allah. Akan tetapi yang wajib kita terima adalah sesuai dengan informasi yang kita dapatkan dari wahyu yaitu al-Quran dan as-Sunnah, tanpa kita membayangkan atau mempertanyakan bagaimananya. Karena akal kita terbatas dan memang dibatasi untuk menjangkaunya.
Berpikir tentang Ciptaan-Nya
Larangkan berpikir tentang Allah terdapat hadits-hadits yang dhaif. Akan tetapi karena ada beberapa redaksi hadits dengan periwayatan dari para sahabat maka derajat hadits tersebut menjadi boleh digunakan sebagai hujjah. Di antaranya hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : تفكروا في كل شيء ، ولا تفكروا في ذات الله. أخرجه البيهقى
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, berkata: Berpikirlah kalian terhadap segala sesuatu (ciptaan Allah) dan jangalah kalian berpikir tentang Dzat Allah. (HR Baihaqi)
Anjuran sebagaimana hadits di atas adalah berpikir tentang cintaan Allah, karena dengan berpikir tentang ciptaan Allah akan menambah kekuatan keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa Taala, sepanjang berpikir kita dalam bingkai wahyu pertama yaitu iqra bismirabbikalladzi khalaq. Yakni bacalah dengan atas nama tuhanmu yang telah menciptakan.
Jika berpikirnya dengan bingkai sekularisme dan jauh dari nilai keimanan, maka yang didapat adalah sekadar pengetahuan tentang alam semesta tanpa berdampak pada keimanannya.
Berpikir tentang Allah akan tersesat, berpikir tentang ciptaan Allah akan semakin meneguhkan keyakinannya akan Sang Maha Pencipta seluruh apa yang ada di alam ini.
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190)
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِي تَجۡرِي فِي ٱلۡبَحۡرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٖ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٖ وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (al-Baqarah: 164)
Memepelajari ilmu pengetahuan alam, dan ilmu-ilmu lainnya merupakan bagian dari membaca ayat-ayat Allah yang bersifat kauniah atau yang terjabar di alam semesta. Maka sudah seyogyanya semua itu akan menambah keyakinan akan kesempurnaan Allah sebagai penciptanya. Seharusnya semua itu dapat menundukkan diri kepada-Nya dengan semakin menambah kepasrahan diri dengan selalu menjalankan ketaatan kepada Allah Sunbahanu wa Taala.
Bulan Purnama
Bulan purnama merupakan karunia Allah, alam akan tampak semakin indah dengan sinar bulan purnama. Sebagaimana dalam hadits di atas saat nabi bersabda tersebut adalah bertepatan dengan tanggal 14 malam hitungan bulan Qamariyah.
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa semua hamba-Nya akan dapat meilhat Allah tanpa berdesak-desakan, sekali lagi jangan dibayangkan saat ini karena hal itu diharamkan dan pasti tidak sanggup, hasilnya malah tersesat.
Rasulullah memberikan dorongan bagaimana hal itu akan didapatkan ketika seorang hamba mampu memelihara shalatnya dengan baik, terutama shalat Ashar dan Subuh, dan tentu dengan menjaga shalat fardhu lainnya.
Menjaga shalat bukan sekadar mengerjakan shalat akan tetapi lebih dari itu adalah menjaga kualitas shalat itu yang ditandai dengan semakin mampunya diri kita dalam rangkan mencegah dari perbuatan keji dan munkar dalam kehidupan sehari-hari.
Saatnya bulan suci ini peluang itu semakin besar, karena di dalamnya semua kaum Mukmin diwajibkan untuk berpuasa. Dengan kualitas shalat dan puasa yang sedang dilaksanakannya maka dapat dipastikan akan muncul generasi Mukmin yang semakin berkualitas dalam kehidupannya.
Yaitu ditandai dengan semangat dakwahnya untuk mengajak orang lain meiliki jiwa dan semangat tauhid yakni mentauhdikan Allah dalam seluruh dimensi kehidupannya. Walllahu a’lam bishshawab. (*)
Sumber dari : pwmu.co 4 April 2022