PWMU.CO – Saya masih ingat betul. Waktu itu bulan Juli 1986. Untuk pertama kalinya pergi bersama Pak Syafii, demikian panggilan angkatan muda Muhammadiyah untuk doktor lulusan Universitas Chicago itu. Kami berdua naik kereta malam Bima dari stasiun Tugu Yogyakarta menuju Surabaya. Saat itu baru saja saya jadi mantan anggota Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muammadiyah (IPM) dan diundang oleh Pimpinan Wilayah IPM Jawa Timur menjadi narasumber bersama Pak Syafii Maarif.

Kami sebelumnya pernah satu dua kali bertemu di forum Muhammadiyah, tetapi Pak Syafii belum begitu kenal saya, kecuali sekelebatan. Saya sempat dua kali ke kantornya di IKIP Negeri Karang Malang—kini Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)—yang agak sempit dan di belakang kursinya tergantung seragam Korpri yang tak pernah dipakainya jika ada upacara gaya Orde Baru.

Namun pertemuan di sepanjang Yogya-Surabya itulah yang terbilang menumbuhkan kesan kuat dan mendalam tentang sosok tokoh yang satu ini. Kami banyak bertukar pikiran sepanjang perjalanan itu terutama tentang kondisi Muhammadiyah yang waktu itu memang tengah menghadapi sorotan tajam dari para kadernya yang kritis. 

Kesan kuat dan mendalam dari perjalanan larut malam Yogya-Surabaya dari Pak Syafii hanya dua kata: humanis dan egaliter! Sikapnya yang humanis menjadikan tokoh kelahiran Sumpur Kudus, Sumatera Barat, itu menjadikan dirinya tidak ada sekat dengan siapa pun, tulus, dan sangat sensitif terhadap isu-isu kemanusiaan. Saya langsung merasa akrab dan menemukan tokoh yang seolah jelmaan Buya Hamka tetapi dengan horizon akademik yang melampaui. Sikapnya bersahaja.

Dengan sifatnya yang humanis, dia sering bercerita tentang perjalanan hidupnya yang berliku-liku tanpa sungkan. Bagaimana pengalaman suka duka sewaktu jadi guru di Baturetno, Wonogiri, dengan segala kenangannya. Bagaimana sewaktu remaja dan kemudian akhirnya menikah dengan Bu Syafii sewaktu masih di kampung. Mengalir dan hangat. Terpaan masa lalu dan kekuatan dari dalam dirinya yang membuat tokoh kelahiran 31 Mei 1935 ini tetap bersahaja, kendati sudah menjadi tokoh nasional yang menonjol di Republik ini. 

Sifat Pak Syafii yang egaliter membuat dirinya tak tampak suka mengambil jarak dengan orang, lebih-lebih dengan “mengangkerkan diri”. Dia mudah cair dan terbuka pada kritik. Orang tidak dibuat takut untuk menyampaikar pendapat, termasuk kritik. Dia pun tak tampak menunjukkan kesan marah kalau dikritik, juga tak ada kesan apologi. Sifat yang satu ini penting buat seorang tokoh, karena dengan demikian dia tidak pekak dan bahkan mau mendengar orang. Kelemahan klasik para tokoh biasanya tidak mau menerima kritik dan masukan apa adanya, lebih suka disanjung dan diberi masukan yang menyenangkan. Orang jadi takut untuk memberikan masukan, apalagi kritik.

Tentang Sapaan Buya

Belakangan setelah kami bersama di Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di mana Pak Syafii jadi Ketua dan saya Sekretaris, sikap humanis itu semakin saya temukan dalam banyak hal. Maka, kami di lingkungan PP Muhammadiyah maupun kebanyakan angkatan muda menjadi akrab dan merasa lebih nyaman jika pada akhirnya menyapa Pak Syafii dengan panggilan Buya, Buya Syafii Maarif yang humanis dan egaliter itu. Dua sifat tersebut cukup untuk menciptakan suasana kepemimpinan yang cair, akrab, dan bersahaja. Kepemimpinan yang ditampilkannya tidak angker. Itulah Buya Syafii Maarif.

Sapaan Buya pun punya sisi lain bagi tokoh yang satu ini. Ketika kami awal sering memanggilnya “Buya”, dia suka memelesetkan dengan kata “buaya”, seolah mencoba menetralisasi atau ingin membersihkan kandungan “karismatik” atau “feodalistik” yang dari sebutan khas untuk tokoh Minang itu. Lagi-lagi sikap humanis yang egaliter. Di hadapannya apa pun yang berbau “keangkeran diri” diubah menjadi hal wajar, biasa, dan bahkan lugu atau polos. Itulah sikap seorang tokoh yang selalu menampilkan keotentikan. Sikap apa adanya, tanpa dibuat-buat. Tokoh yang tak ingin ditokohkan secara berlebihan.

Maka Buya pun di kemudian hari memberi sisi penting dalam perjalanan Muhammadiyah, juga untuk bangsa ini. Seolah mengisi ruang kosong, yakni otentisitas sikap, sosok yang menampilkan banyak hal dalam sikap dan tindakannya dalam kesahajaan. Dengan kecerdasannya sebagai akademisi dan guru besar yang berwawasan melintasi, Buya memberi warna yang benar-benar kultural dalam makna yang sesungguhnya, tidak dibuat-buat dan tanpa banyak bungkus apalagi topeng.

Kadang sedemikian bersahaja dan sikapnya yang lepas atau lugu, kadang tak jarang masuk dalam suasana politisasi bagi pihak-pihak yang ingin “memanfaatkannya”. Kendati, makin hari Buya juga semakin “cerdas” dalam membaca gelagat-gelagat politisisasi dan dunia politik. Buya kemudian menjadi tokoh nasional yang memperoleh tempat khusus yang mungkin langka, ketika para tokoh lain satu persatu masuk ke dunia politik atau tergiur dalam aroma dunia politik dalam kadarnya yang beragam. 

Buya Syafii kemudian menjadi sosok yang menonjol di negeri ini. Kendati begitu, tokoh yang satu ini selalu menetralisasi setiap bentuk penokohan yang berlebihan pada dirinya. Dia selalu mengutip istilah “primus inter pares” ketika ditokohkan. “Saya hanya seorang yang pertama dari yang setaraf,” katanya. Mungkin karena sikapnya yang apa adanya itu membuat dirinya tampil tanpa beban dalam menyandang ketokohan. Dia tak tampak ingin dipuja-puji, lebih-lebih ditokohkan secara berlebihan. Dia bahkan sering tampak kaku kalau dilayani keperluannya oleh karyawan di lingkungan PP Muhammadiyah. Bahkan untuk sejumlah acara maupun ke kantor sering menyetir kendaraan sendiri, dan tampak menikmati. 

Tapi kritik pun dialamatkan pada Buya. Buya sering menjadi sasaran kritik pada penganut paham literal dalarn pemikiran Islam. Buya dihembuskan sebagai pembawa pikiran liberal di Muhammadiyah, yang tidak cocok dengan Muhammadiyah “asli”. Buya juga dikritik tidak mudah untuk turun ke bawah, ke Muhammadiyah “akar rumput”. Dan Buya mendengar kritik-kritik itu.

Dia tak segan untuk diajak bicara dan menghadiri pertemuan untuk menjelaskan pikirannya. Bahkan dengan para aktivis Mujahidin pun tak ada halangan hingga datang ke markasnya di Jalan Veteran Yogyakarta, untuk berdiskusi. Di samping berdialog dengan kalangan internal Muhammadiyah. Belakangan Buya mulai turun ke bawah, meski frekuensinya masih harus berbagi dengan acara-acara nasional yang memang padat.

Warna Baru bagi Muhammadiyah

Kehadiran Buya Syafii Maarif maupun Pak Amien Rais pada masa kepemimpinannya di Muhammadiyah, telah memberikan warna baru bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah telah dibawa ke tengah dan ke muka percaturan nasional bahkan global secara dinamik. Inilah yang tidak tampak pada kepemimpinan Muhammadiyah sebelumnya. Perkembangan pemikiran dan dialog pemikiran pun berkembang dengan pesat, meski tak jarang menimbulkan pro dan kontra.

Tapi itu penting bagi Muhammadiyah, yang selama ini menyandang predikat sebagai gerakan tajdid. Mana mungkin ada tajdid tanpa pengembangan dan dialog pemikiran. Kiai Dahlan pun termasuk pemikir dan merintis Muhammadiyah dengan pemikiran yang cemerlang, dan itulah Muhammadiyah yang “aseli”, yang “murni”. Bukan Muhammadiyah yang jumud. Tentu saja ada Muhammadiyah “asli” lainnya, yakni amal nyata.

Buya bersama Muhammadiyah telah hadir ke pentas nasional dengan wajah kultural. Ini cocok dengan alam pikiran dan sejarah Muhammadiyah sebagaimana dipelopori Kiai Dahlan. Muhammadiyah dengan tetap berpegang teguh pada prinsip gerakannya, dituntut untuk tampil melintasi dan menjadi tenda besar bangsa. Dan Buya Syafii Maarif memberikan goresan penting dalam rihlah (perjalanan) kultural yang penting itu, dengan segala kekurangan dan kelebihannya sebagai manusia biasa.

Ke depan gagasan dan gerak kultural itu memerlukan aktualisasi ke bawah dengan pengayaan nilai-nilai Islami yang lebih kokoh. Gerak kultural tidak bisa berumah di atas angin dan lepas dari bingkai nilai Islam. 

Kecintaan Buya pada bangsa ini juga sangat kuat. Dalam menemani selama empat tahun terakhir ini Buya begitu prihatin dengan kondisi negerinya. Kerut dahinya tampak sekali muncul kalau sudah membicarakan nasib bangsa. Bicaranya berasal dari suara hati, bukan naluri politik.

Tak berlebihan kini banyak pihak yang mengambil rujukan sekaligus menggantungkan harapan pada sosok dari ayah satu anak ini untuk terus menjadi pencerah bangsa, ketika sejumlah tokoh lain sejak Pemilu 2004 berguguran karena tergiur jalan kekuasaan. “Bangsa ini hancur, nyaris sempurna,” begitu kata-kata yang sering keluar dari keprihatinan batinnya untuk melukiskan betapa berat dan parahnya negeri ini. 

Itulah Buya Syafii Maarif yang saya kenal. Dia seolah perpaduan antara Mohammad Hatta dan Hamka, tokoh bangsa dan sekaligus tokoh Islam humanis dan egaliter yang berwawasan melintasi. Sosok yang tak tergiur dengan godaan kekuasaan politik. Tokoh yang hadir dalam ikhtiar membangun peradaban umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Dengan kekurangan dan kelebihannya, Buya Syafii telah mengisi ruang kosong di Republik ini: memberi pencerahan dengan sikap yang otentik. (*)

Tulisan berjudul Buya Sosok Humanis dan Egaliter ini ditulis oleh Hadear Nashir yang saat itu menjadi Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dikutip dari buku Cermin untuk Semua Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, editor Abd Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, (Maarif Institute, Jakarta: 2005).

Artikrl ini diterbitkan PWMU.CO untuk mengenang Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1998–2005 Prof Ahamd Syafii Maarif (86) atau yang dikenal dengan Buya Syafii, yang wafat, Jumat (27/5/22) pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta.

Sumber dari : pwmu.co 27 Mei 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *