Mengenal Djarnawi Hadikusumo, Putra Ki Bagus Hadikusumo

Mengenal Djarnawi Hadikusumo, Pencipta Mars Muhammadiyah ‘Sang Surya’

Mengenal Djarnawi Hadikusumo, Putra Ki Bagus Hadikusumo oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku-buku termasuk Jejak Kisah Pengukir Sejarah.

PWMU.CO – Pada diri Djarnawi Hadikusumo melekat banyak identitas kebaikan. Dia dikenal sebagai pembelajar yang tekun, pendidik, pendakwah, pemikir, penulis, dan politisi.

Dia lahir pada 4 Juli 1920 di Kauman Yogyakarta. Sang ayah bernama Ki Bagus Hadikusumo, tokoh yang sangat besar kontribusinya bagi negara ini terutama lewat perannya di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara, sang ibu bernama Siti Fatimah.

Pendidikan dan Kiprah

Djarnawi menyelesaikan pendidikan formalnya dari tingkat dasar hingga lanjutan, kesemuanya melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah di Yogyakarta. Adapun guru-guru yang pernah membimbingnya adalah tokoh sekaligus ulama Muhammadiyah seperti Mas Mansur, Farid Ma’ruf, Abdul Kahar Muzakkir, Siraj Dahlan, dan Muhammad Rasyidi. Selain itu ketika bertugas di Sumatera, ia juga sempat berguru kepada Buya Hamka dan Buya Zainal Arifin Abbas.

Pada 1937 setelah lulus dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Jarnawi diberi tugas oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Dia ditugaskan menjadi guru agama Islam dan juru dakwah pada Sekolah Muhammadiyah di daerah perkebunan Merbau, Medan, Sumatera Utara.

Djrnawi dipercaya menjadi Kepala Sekolah Muhammadiyah di Medan (1938-1942) dan Kepala Sekolah Muhammadiyah di Tebingtinggi, Sumatera Utara (1944-1949). Tercatat pula, dari tahun 1945 hingga 1949 Jarnawi sempat bergabung dalam Batalion Istimewa TNI (sekarang Kopassus) Brigade XII daerah Sumatera Utara.

Pada 1949 dia pulang ke Yogyakarta. Sejak itu dia mulai aktif sebagai salah seorang anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah hingga 1962.

Pada 1962 Muhammadiyah menyelenggarakan muktamar ke-35 di Jakarta. Di Muktamar tersebut Djarnawi terpilih sebagai Sekretaris II PP Muhammadiyah.

Djarnawi kemudian terpilih sebagai Ketua III PP Muhammadiyah. Itu terjadi pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung pada 1967.

Tercatat pula, dia terpilih sebagai Sekretaris PP Muhammadiyah lewat Muktamar ke-40 di Surabaya pada 1978. Lalu, diberi amanah sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah lewat muktamar ke-41 di Surakarta pada 1985.

Berikutnya, di muktamar ke-42 pada 1990 di Yogyakarta Jarnawi ditetapkan sebagai Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tajdid dan Tabligh. Bidang itu mengkoordinasi Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Majelis Pustaka, dan Lembaga Dakwah Khusus. Ini, di periode 1990-1995.

Hal lain, ketika Djarnawi menjadi anggota PP Muhammadiyah pada tahun 1962, bersama AR Fahruddin dan HM Mawardi dia mendapat amanah merapikan bahan-bahan rumusan Kepribadian Muhammadiyah yang telah disampaikan oleh tokoh-tokoh senior Muhammadiyah seperti Faqih Usman, Farid Ma’ruf, Wardan Diponingrat, Hamka, M. Jindar Tamimy dan M. Saleh Ibrahim.

Kuat Belajar

Djarnawi sosok yang suka membaca, berdiskusi dan bermain musik. Lagu Sang Surya yang berlirik “Al Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku” adalah karya dia.

Dia seorang pembelajar yang istiqomah. Di riwayat pendidikannya, juga terekam bahwa dia pernah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, meski tak dia selesaikan.

Memang, Djarnawi dikenal kuat dalam belajar. Bahkan banyak yang mengenalnya sebagai sang otodidak, pribadi yang suka belajar sendiri.

Djarnawi menguasai lima bahasa asing yaitu Arab, Belanda, Inggris, Perancis, dan Jepang. Dari kelima bahasa itu hanya dua yang dipelajarinya secara formal yaitu Inggris dan Perancis. Sementara, penguasaan tiga bahasa lainnya adalah buah dari otodidak.

Terkait kecakapannya berbahasa, Djarnawi memetik buah manis. Bahwa, dia berkesempatan berdakwah di luar negeri antara lain seperti di New Zealand, Papua New Guinea, dan Australia. Juga, ke Iran, Irak, dan Saudi Arabia. Pun, ke Malaysia dan Singapura.

Tapak Tak Terlupakan

Jejak kebajikan Djarnawi di Muhammadiyah ada juga di lembaga perguruan pencak silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Dia adalah salah seorang tokoh utama ketika Tapak Suci didirikan pada 31 Juli 1963. Jarnawi-lah yang merumuskan doa dan ikrar perguruan Tapak Suci pada upacara peresmiannya.

Pada kepemimpinan Tapak Suci yang pertama, Djarnawi diposisikan sebagai Pelindung. Selanjutnya untuk kurun 1966-1991 dia dipilih sebagai Ketua Umum lembaga perguruan pencak silat milik Muhammadiyah itu.

Di Ranah Politik

Jarnawi juga aktif di bidang politik. Pada 1966-1971 dia menjadi anggota MPRS/DPR-GR. Dia menjadi Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) saat partai itu didirikan pada Februari 1968.

Pada 4 sampai 7 November 1968 berlangsung Kongres Parmusi. Saat itu, Mohamad Roem terpilih sebagai ketua umum. Sayang, Mohamad Roem tidak direstui oleh pemerintah karena mantan tokoh Masyumi. Atas situasi itu, Djarnawi lalu diangkat kembali sebagai Ketua Umum Parmusi hingga tahun 1971.

Sebagai politisi, Busyro Muqoddas punya pandangan menarik atas Jarnawi. Kata Busyro, sebagai politisi Djarnawi berkarakter, bersahaja, merdeka berpikir, egaliter dan humoris.

“Percikan kadar keislaman yang integratif dengan kebangsaannya, banyak diwarnai oleh pemikiran, penghayatan dan loyalitas original Kemuhammadiyahannya,” kata Busyro Muqoddas. Baca di sini.

Cerdas Bersiasat

Di tahun 1980-an Muhammadiyah dihadapkan pada persoalan asas tunggal Pancasila. Pada Muktamar Ke-41 Muhammadiyah di Surakarta tahun 1985 Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi massa / organisasi politik. Kala itu, Jarnawi termasuk salah seorang anggota tim perumus.

Djarnawi berpandangan bahwa Muhammadiyah bersedia menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena sila Ketuhanan yang Maha Esa itu diartikan sebagai keimanan kepada Allah. Penafsiran arti sila pertama dari Pancasila tersebut, menurut dia, agar muktamar menerima asas tunggal Pancasila. Juga, supaya Muhammadiyah terhindar dari perpecahan dan pembubaran.

Pemikir dan Penulis

Djarnawi seorang pemikir dan penulis yang produktif. Sampai akhir hayatnya, dia sudah menulis sekitar 20 buku. Di luar itu, banyak tulisan lepasnya di berbagai media cetak antara lain seperti di Kedaulatan Rakyat dan Jawa Pos. Tentu saja, juga di Suara Muhammadiyahdan Suara Aisyiyah.

Tema buku-buku Jarnawi beragam. Di bidang keislaman, di antaranya berjudul Risalah Islamiyah, Kitab Tauhid, Ilmu Akhlak, Kitab Fiqih, Ahlussunnah wal Jamaah, dan Menyingkap Rahasia Maut, dan Jalan Mendekatkan Diri kepada Tuhan.

Di bidang sejarah Islam Jarnawi menulis buku Aliran-Aliran Pembaruan Islam; Dari Jamaluddin Al-Afghani sampai ke KH Ahmad Dahlan, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Derita Seorang Pemimpin; Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Buah Pikiran Ki Bagus Hadikusumo.

Di bahasan pendidikan Jarnawi menulis buku berjudul Pendidikan dan Kemajuan. Di bidang Kristologi dia menulis Sekitar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan Kristologi.

Minat kepenulisan Jarnawi juga menyentuh fiksi. Di bagian ini, karya Djarnawi berupa novel berjudul Korban Perasaan, Penginapan di Jalan Sunyi, Orang dari Marotai, Pertentangan, dan Angin Pantai Selatan.

Djarnawi Hadikusumo wafat pada 26 Oktober 1993, di usia 73 tahun. Sebagaimana sang ayah, dia meninggalkan banyak jejak kebajikan. Berkhidmat di Muhammadiyah dalam rentang waktu yang sangat panjang, “mulai” dari tahun 1942 sebagai Ketua Ranting Muhammadiyah Merbau, Sumatera Utara hingga wafatnya masih memegang amanah di persyarikatan Muhammadiyah. (*)

Sumber dari: pwmu.co 25 Maret 2022

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
0 Shares
Tweet
Share
Pin
Share